Naik Bus Berhantu: Perjalanan Misterius dari Bekasi ke Bandung

Ini adalah kisah nyata yang terjadi pada sore Kamis, 20 Juni 2019, langit Bekasi mulai meredup, membungkus kota dalam cahaya jingga yang pelan-pelan padam. Di tengah rutinitas yang melelahkan, seorang pria bernama Hebbie Agus Kurnia memutuskan untuk pulang ke Bandung. Biasanya ia membawa mobil pribadi, tapi kali ini rasa penat mengalahkan segalanya. Ia terlalu lelah untuk menyetir sendiri.

Selain ingin melepas rindu dengan istri dan anak kecilnya, pikiran Hebbie saat itu sedang dilanda banyak tekanan bisnis. Ia ingin pulang cepat, beristirahat, dan menemukan ketenangan di rumah. Tapi siapa sangka, keputusan sederhana untuk naik bus justru membawanya ke perjalanan yang tak akan pernah ia lupakan.

Menunggu Bus, Datang yang Tak Terduga

Hebbie tak pergi dari terminal, ia memilih menunggu bus di pinggir jalan dengan harapan bisa naik bus eksekutif yang lewat. Namun waktu terus berlalu, dan bus eksekutif yang ditunggunya tak kunjung datang. Langit makin gelap, jalanan makin lengang, dan Hebbie makin tak sabar.

Hingga akhirnya, sebuah bus ekonomi tua melintas pelan. Tanpa berpikir panjang, Hebbie langsung melambaikan tangan dan naik. Bus itu terlihat lusuh dan usang, dengan warna kusam dan jendela buram. Tapi ia sudah terlanjur kesal menunggu, jadi ia naik juga—dengan sedikit memaksakan diri.

“Bandung, Bandung, Bandung…” teriak kondektur dari pintu bus. Suaranya serak dan agak berat. Di dalam bus, suasana tampak wajar. Penumpangnya cukup banyak, dengan ekspresi datar dan tampak seperti biasa.

Karena jalanan macet akibat pembangunan di ruas tol Jakarta-Cikampek, bus melaju lambat. Hebbie, yang merasa lelah dan tak terlalu peduli dengan sekeliling, langsung menyetel headset dan menenggelamkan diri dalam musik.

Tidur, Lalu Terbangun dalam Ketakutan

Ia mulai tertidur sekitar kilometer 30, ketika bus melintasi Cikarang Utama. Harusnya, perjalanan ke Purwakarta hanya memakan waktu 1,5 jam, tapi Hebbie baru terbangun sekitar pukul 20.00 malam, saat bus masih berada di wilayah Purwakarta. Terlalu lama.

Namun bukan hanya waktu tempuh yang aneh—selama perjalanan, tidak ada penumpang yang naik ataupun turun. Tak ada kondektur yang menagih ongkos. Semua penumpang hanya duduk diam. Bahkan, tak ada satupun yang mengenakan seragam karyawan pabrik seperti biasanya. Beberapa terlihat membawa barang-barang aneh, seperti bungkusan ayam, pakaian jadul, atau mengenakan batik yang tampak dari era berbeda.

Yang paling mencolok—semuanya diam. Tegak. Pucat.

Lampu Padam dan Bau Anyir

Saat lampu bus menyala, Hebbie baru benar-benar sadar ada yang tak wajar. Wajah para penumpang begitu kaku, ekspresinya kosong dan menegangkan. Saat lampu bus sempat mati sebentar, suasana menjadi benar-benar mencekam. Ketika menyala kembali, Hebbie mencium bau anyir—bau darah, menyengat di hidungnya.

Ketakutan mulai menjalar. Ia mencoba menyapa penumpang di sebelahnya.

“Eh, ini udah sampai KM berapa ya, Kang?” tanyanya pelan.

Tak ada respons.

Ia ulang lagi, “Kang?”

Tetap hening. Penumpang itu diam, kaku seperti patung. Tubuhnya kaku, wajahnya menunduk tanpa ekspresi.

Tubuh Hebbie mulai gemetar. Ia mencubit dirinya sendiri, memastikan ini bukan mimpi. Tapi cubitan itu terasa sakit. Ia benar-benar terjaga, dan ia benar-benar berada dalam situasi yang tak masuk akal.

Ia menulis status di Instagram, sebagai semacam laporan langsung. Dalam hatinya, ia berpikir: “Kalau nanti gue kenapa-kenapa, minimal orang-orang tahu gue terakhir naik bus. Ada jejak digital.”

Rasa Bersalah, Rasa Takut, dan Doa

Saat bus mulai memasuki tanjakan di tol Cipularang, Hebbie merasa jantungnya semakin berat. Ketakutan mengendap dalam dada. Ia mulai istighfar, mengingat dosa-dosa, membayangkan wajah istri dan anak. Ia berpikir mungkin ini adalah akhir hidupnya. Dengan tangan gemetar, ia mencoba mengirim pesan ke istrinya.

Di layar ponsel, percakapan itu tercatat, dimulai dari pukul 21.31. Ia memberitahu istrinya bahwa ia sedang berada dalam bus, merasa aneh, dan takut.

Turun Seorang Diri

Akhirnya, bus memasuki Terminal Bandung. Hebbie bersiap turun. Aneh—hanya dia yang berdiri. Tak ada penumpang lain yang menunjukkan tanda-tanda akan turun. Padahal, biasanya terminal adalah tempat banyak orang turun.

Saat ia berkata, “Pak, kiri ya,” sopir hanya menyalakan lampu sen kiri tanpa sepatah kata.

Ketika ia hendak membayar ongkos, kondektur hanya berkata datar, “Mangga, a… turun aja gak apa-apa.”

Tanpa diminta bayar? Hebbie makin bingung. Ia turun dari bus dengan tubuh gemetaran. Ketika menginjak tanah, kepalanya pusing, dan kakinya lemas. Ia merogoh dompet—semua masih lengkap. Uang utuh. Tapi tangannya mulai gatal parah, juga di bagian pinggang dan leher. Seolah tubuhnya mengalami reaksi aneh.

Akhir Perjalanan yang Tak Terlupakan

Sesampainya di rumah, Hebbie disambut keluarganya. Ia tak bisa segera bercerita, terlalu lelah dan masih diliputi kebingungan. Tapi di dalam hatinya, satu hal pasti: ia telah mengalami sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika.

Perjalanan dari Bekasi ke Bandung itu hanya memakan waktu beberapa jam, tapi rasanya seperti memasuki dunia lain. Dunia di mana penumpang tak bicara, kondektur tak meminta ongkos, dan bau darah menyelinap di antara lampu bus yang berkedip.

Dan Hebbie bersyukur—meski naik bus berhantu, ia masih diberi kesempatan untuk pulang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *