Banyuwangi dikenal sebagai Sunrise of Java, tapi tak banyak yang tahu bahwa Terminal Sri Tanjung adalah salah satu titik awal di mana cerita-cerita tentang perubahan dan pergerakan itu dimulai. Bukan sekadar tempat naik-turun penumpang, terminal ini telah tumbuh menjadi simpul penting dalam konektivitas, pengembangan kota, hingga dinamika sosial masyarakat.

Sejarah dan Filosofi Nama “Sri Tanjung”
Nama “Sri Tanjung” bukan sekadar sebutan geografis. Ia merujuk pada legenda lokal Banyuwangi, tentang kesetiaan dan kemurnian seorang perempuan bernama Sri Tanjung yang menjadi asal muasal nama “Banyuwangi” (air yang harum). Filosofi ini melekat pada fungsi terminal sebagai tempat yang “menghubungkan dengan niat baik”, sebuah simbol integritas dalam perjalanan.
Letak Strategis dan Aksesibilitas
Terminal ini terletak di Jalan Letjen Sutoyo, Kelurahan Sobo, Banyuwangi, hanya sekitar 10 menit dari Stasiun Karangasem dan 15 menit dari Pelabuhan Ketapang. Lokasinya yang strategis menjadikannya titik temu antara wisatawan, penduduk lokal, dan pengusaha kecil menengah.
Dari sini, akses menuju kawasan wisata seperti Taman Blambangan, Pantai Boom, dan Taman Sritanjung menjadi sangat mudah.

Fasilitas: Nyaman Tanpa Menghilangkan Nuansa Lokal
Terminal Sri Tanjung memang tidak sebesar terminal-terminal provinsi lainnya, tapi justru di sanalah keunikannya. Fasilitas yang tersedia di antaranya:
-
Ruang tunggu beratap dengan sirkulasi udara alami
-
Toilet bersih dengan sistem sanitasi ramah lingkungan
-
Deretan kios makanan khas Osing dan jajanan Banyuwangi
-
Pusat informasi transportasi digital (menggunakan QR code untuk cek jadwal dan rute)
-
Mushola dan ruang laktasi sederhana
-
Area UMKM yang dikelola ibu-ibu lokal, dari kerajinan bambu hingga kopi asli Kalibendo
Terminal Ramah Wisatawan
Terminal Sri Tanjung menjadi unik karena pendekatan wisatanya. Di dekat pintu masuk utama, terdapat “Pojok Wisata”, di mana wisatawan bisa mendapatkan brosur wisata, informasi transportasi, dan rute rekomendasi backpacking.
Beberapa pengusaha travel juga memanfaatkan lahan parkir terminal sebagai titik keberangkatan ke Kawah Ijen dan Taman Nasional Alas Purwo.
Jalur dan Jurusan Bus
Terminal ini melayani berbagai rute, baik dalam kota maupun antarkota dan provinsi. Beberapa rute favorit meliputi:
-
Banyuwangi – Surabaya (via Jember, Probolinggo)
-
Banyuwangi – Malang
-
Banyuwangi – Denpasar (melalui penyeberangan Ketapang-Gilimanuk)
-
Banyuwangi – Situbondo – Bondowoso
-
Banyuwangi – Jakarta (via bus malam AKAP)
Operator Bus Populer:
-
PO Sinar Jaya
-
PO Akas IV
-
PO MTrans
-
PO Restu Mulya
Harga tiket bervariasi, dari Rp30.000 untuk rute pendek, hingga Rp300.000 untuk rute jarak jauh ke Jakarta atau Bandung.

Terminal sebagai Ruang Sosial dan Budaya
Uniknya, Terminal Sri Tanjung sering dipakai sebagai lokasi pertunjukan rakyat kecil, seperti reog Osing, musik angklung, hingga pentas kecil seni tari yang digelar oleh komunitas setempat. Terminal bukan hanya tempat berangkat, tapi menjadi ruang publik alternatif untuk ekspresi warga Banyuwangi.
Digitalisasi dan Transformasi
Dalam lima tahun terakhir, Pemkab Banyuwangi telah menggagas transformasi digital pada sistem transportasi dan pengelolaan terminal. Terminal Sri Tanjung kini mulai menerapkan:
-
Pembayaran non-tunai untuk retribusi angkutan
-
Penerapan CCTV real-time yang terhubung ke Dishub
-
Layanan informasi berbasis chatbot untuk jadwal bus dan travel
Langkah ini menjadikan Sri Tanjung sebagai salah satu terminal percontohan modern di wilayah timur Jawa, tanpa meninggalkan ciri khas lokalnya.
Tantangan dan Harapan
Meski sudah banyak berubah, terminal ini masih menghadapi beberapa tantangan seperti:
-
Penataan parkir liar
-
Masih adanya calo di jam-jam sibuk
-
Kebutuhan peningkatan shelter ramah disabilitas
Namun, ke depannya, pemerintah berkomitmen membenahi semua ini, menjadikan terminal sebagai ruang urban yang ramah semua kalangan.
Baca Juga : Terminal Tingkir Kota Salatiga
Terminal Sri Tanjung Banyuwangi adalah cerminan dari bagaimana sebuah ruang transit bisa menjadi lebih dari sekadar tempat lewat. Ia adalah ruang pertemuan, ruang budaya, ruang ekonomi, bahkan ruang spiritual bagi sebagian orang yang hendak memulai perjalanan. Di tengah modernisasi dan digitalisasi, terminal ini tetap menjaga akarnya: kesederhanaan, keramahan, dan keterhubungan.











