Stasiun Kereta Api Jombang seringkali hanya dipandang sebagai tempat naik-turun penumpang, padahal di balik bangunannya yang bersahaja, tersimpan banyak kisah yang menjadikan stasiun ini lebih dari sekadar titik transit. Ia adalah simpul sejarah dan denyut kehidupan masyarakat Jombang yang dikenal sebagai Kota Santri.

1. Gerbang Mobilitas Ulama dan Santri
Tak banyak yang tahu, Stasiun Jombang sejak dulu telah menjadi simpul penting bagi para ulama dan santri yang hendak mondok ke berbagai pesantren di luar kota, atau sebaliknya. Pondok Pesantren Tebu Ireng, Tambakberas, dan Darul Ulum, yang merupakan pusat-pusat pendidikan Islam ternama, menjadikan stasiun kereta api ini semacam pelabuhan darat spiritual.
Dalam catatan lokal, disebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahid Hasyim, tokoh besar pendiri NU, pernah beberapa kali memanfaatkan jalur ini untuk perjalanan dakwah ke berbagai daerah, bahkan hingga Jakarta.
2. Saksi Bisu Era Kolonial hingga Reformasi
Stasiun Jombang dibangun pada masa kolonial Belanda dan termasuk dalam jalur kereta penting lintas Surabaya–Solo. Dahulu, kereta api menjadi alat transportasi elite kolonial, tapi di Jombang, ia justru menjadi simbol keterbukaan akses masyarakat desa terhadap dunia luar.
Selama pendudukan Jepang, jalur ini digunakan untuk kepentingan militer, dan pada masa revolusi fisik, rel-rel di sekitar Jombang menjadi tempat sabotase para pejuang. Sayangnya, kisah ini masih jarang diangkat sebagai narasi sejarah lokal.

3. “Pasar Senyap” di Peron Tua
Uniknya, setiap pagi di stasiun kereta api ini terjadi fenomena yang disebut warga sebagai “pasar senyap”. Penjual makanan khas Jombang seperti pecel pincuk, tiwul, dan tape ketan hijau akan berjualan langsung di peron tanpa suara gaduh, hanya dengan lirikan mata atau senyum mengundang. Para penumpang reguler sudah tahu: makanan di Stasiun Jombang bukan sekadar pengisi perut, tapi penanda rasa rindu akan kampung halaman.
4. Arsitektur Hibrida yang Tak Terlalu Diperhatikan
Secara visual, bangunan Stasiun Jombang tampak sederhana, namun jika diamati, ia memadukan gaya Indische Empire dengan sentuhan lokal. Jendela tinggi, langit-langit lapang, dan kisi-kisi kayu menjadi bukti desain tropis kolonial. Sayangnya, tidak banyak inisiatif konservasi untuk mempertahankan estetika ini, meski stasiun menjadi salah satu simbol arsitektur warisan di Jombang.
5. Antara Modernisasi dan Nostalgia
Kini, Stasiun Jombang telah melayani berbagai jenis kereta api dari kelas ekonomi hingga eksekutif, seperti KA Gaya Baru Malam Selatan, KA Bangunkarta, dan KA Bima. Modernisasi hadir lewat loket digital, e-boarding pass, hingga vending machine. Tapi masyarakat Jombang tetap menyimpan nostalgia: tentang suara peluit kondektur, genta tua di peron, dan petugas berseragam biru laut yang dulu membangkitkan rasa aman di tiap keberangkatan.
6. Stasiun yang Menghubungkan Tradisi dan Mobilitas Modern
Jombang adalah daerah dengan akar religius kuat dan semangat pergerakan sosial tinggi. Stasiun ini seakan menjadi jembatan antara masa lalu yang tradisional dan masa kini yang cepat berubah. Ia bukan hanya tempat perlintasan manusia, tetapi juga gagasan, budaya, dan semangat kebangsaan.
7. Potensi Wisata Historis yang Belum Tersentuh
Jika dikelola dengan baik, Stasiun Jombang bisa menjadi titik awal wisata sejarah dan religi. Bayangkan program city tour dari stasiun menuju Makam KH. Hasyim Asy’ari, pesantren tertua, hingga warung kopi legendaris yang berdiri sejak zaman Jepang. Sayangnya, belum banyak inisiatif dari pemerintah daerah untuk menjadikan stasiun ini bagian dari narasi wisata sejarah nasional.

Alamat dan Klasifikasi
-
Alamat: Jl. Jenderal Basuki Rachmat No. 1, Jombatan, Jombang, Jombang, Jawa Timur 61419, Indonesia
- Kode stasiun: JG
-
Ketinggian: +43 m hingga +44 m di atas permukaan laut
-
Operator: DAOP VII Madiun (Divre Madiun)
-
Klasifikasi: Stasiun besar kelas tipe C
Kapasitas dan Fasilitas
-
Garis kereta: Semula 9 jalur, kini 8 (setelah satu dialihfungsikan)
-
Peron: 1 peron sisi dan 4 peron pulau
-
Fasilitas:
-
Ruang tunggu (termasuk executive)
-
Parkir kendaraan (mobil & motor)
-
Toilet ramah difabel, charging booth
-
Layanan loket & e‑boarding pass
-
Ruang ibadah dan nursery room
-
Minimarket & kedai makan
-
Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas
-

Jumlah Keberangkatan dan Jenis KA
Setiap hari, Stasiun Jombang melayani puluhan perjalanan kereta penumpang dari berbagai kelas. Berikut garis besar ragam kereta yang singgah:
-
Eksekutif:
-
Argo Wilis, Bima, Turangga, Bangunkarta
-
-
Bisnis / Mixed:
-
Sancaka (Eksekutif–Bisnis), Mutiara Selatan, Ranggajati, Wijayakusuma
-
-
Premium Economy / Ekonomi Plus:
-
Gaya Baru Malam Selatan (Eksekutif–Economy Plus), Jayakarta, Arjasmoro
-
-
Ekonomi:
-
Pasundan, Sri Tanjung, Logawa
-
-
Komuter & Lokal:
-
Rapih Dhoho, KRD Kertosono (Surabaya–Jombang), Anjasmoro Ekspres
-
Rata‑rata 30–40 keberangkatan per hari, termasuk layanan penumpang jarak jauh dan lokal.
Baca juga : Stasiun Gambir Jakarta
Rute & Jurusan Populer
Stasiun Jombang menghubungkan banyak kota besar:
-
Utara ke Surabaya Gubeng
-
Barat ke Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta (via Gambir atau Pasar Senen)
-
Selatan / Timur ke Banyuwangi, Jember, Malang
Berikut contoh rute dan harga tiket (per 7 Juli 2025): -
Jombang – Jakarta
-
Bangunkarta (Eksekutif): ~Rp 730.000 (9–10 jam)
-
Bima Compartment (Eksekutif): ~Rp 2.050.000
-
-
Jombang – Bandung
-
Argo Wilis (Eksekutif): Rp 680.000–1.250.000
-
Pasundan (Ekonomi): mulai Rp 189.000
-
-
Jombang – Jember
-
Sri Tanjung (Ekonomi): Rp 88.000
-
Ranggajati (Eksekutif): Rp 360.000
-
Kisaran Harga Tiket
| Rute | Kelas | Harga Mulai |
|---|---|---|
| Jombang–Jakarta | Eksekutif | Rp 730.000 |
| Jombang–Jakarta | Eksekutif (Compartment) | Rp 2.050.000 |
| Jombang–Bandung | Eksekutif | Rp 680.000 |
| Jombang–Bandung | Ekonomi | Rp 189.000 |
| Jombang–Jember | Eksekutif | Rp 360.000 |
| Jombang–Jember | Ekonomi | Rp 88.000 |
Penutup: Stasiun yang Mengakar, Bukan Sekadar Persinggahan
Stasiun Kereta Api Jombang bukan hanya titik transit, melainkan titik temu sejarah, budaya, dan perubahan zaman. Ia diam, tapi menyimpan banyak kisah. Ia tua, tapi terus menggerakkan. Dan ia adalah bukti bahwa peradaban tak selalu dibangun di kota-kota besar, tapi juga di peron sederhana di tengah kota kecil yang penuh makna.






