Bus dengan Bahan Bakar CNG di Indonesia

Bus dengan Bahan Bakar CNG

Transportasi darat di Indonesia terus mengalami transformasi, terutama dalam menghadapi isu lingkungan dan efisiensi energi. Salah satu inovasi yang pernah digadang-gadang sebagai solusi ramah lingkungan adalah bus dengan bahan bakar Compressed Natural Gas (CNG). Namun, perjalanan CNG di Indonesia tidak selalu mulus, bahkan menyimpan cerita unik yang jarang dibahas: dari perintisan ambisius di awal tahun 2000-an hingga tantangan infrastruktur yang membuatnya “tenggelam” oleh bahan bakar fosil lain.

Apa Itu Bus CNG?

Bus CNG adalah bus yang menggunakan gas alam terkompresi sebagai bahan bakarnya. Gas ini diklaim lebih bersih dibandingkan solar atau bensin karena:

  • Menghasilkan emisi CO₂ lebih rendah.

  • Mengurangi polusi udara (terutama partikulat halus).

  • Lebih hemat biaya operasional jika infrastruktur memadai.

Namun, keberhasilan bus CNG tidak hanya bergantung pada mesin atau teknologinya, tetapi juga pada ketersediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), regulasi pemerintah, hingga kesiapan operator transportasi.

Sejarah Bus CNG di Indonesia

  • Awal 2000-an: Pemerintah mulai mendorong penggunaan CNG untuk transportasi umum di Jakarta sebagai langkah mengurangi polusi.

  • 2004–2010: Bus TransJakarta menjadi salah satu pelopor pemakaian bus CNG. Beberapa armada impor dari Tiongkok dan Eropa diperkenalkan.

  • 2010–2015: SPBG mulai dibangun di beberapa titik Jakarta, namun jumlahnya terbatas. Banyak bus terpaksa mengantre berjam-jam untuk isi gas.

  • 2016–2020: Keterbatasan infrastruktur membuat banyak operator kembali beralih ke solar dan kemudian ke biodiesel.

  • 2021–sekarang: Tren global bergeser ke arah bus listrik, membuat posisi bus CNG semakin tersisih, meski masih ada yang beroperasi.

Baca Juga :  Bus Hidrogen: Transportasi Masa Depan

Keunikan Bus CNG di Indonesia

Hal menarik dari cerita bus CNG adalah benturan antara idealisme hijau dengan realita jalanan Indonesia.

  1. SPBG Terbatas – Walau ramah lingkungan, SPBG hanya ada di titik tertentu, sehingga bus sering menghabiskan waktu bukan di jalan, tapi di antrean.

  2. Teknologi vs Medan Jalan – Beberapa armada impor ternyata tidak cocok dengan kondisi jalan di Jakarta yang padat, bergelombang, dan panas.

  3. Operator dalam Dilema – Hemat di atas kertas, tapi ribet dalam praktik. Banyak operator lebih memilih kembali ke solar karena lebih fleksibel.

  4. Cerita Penumpang – Ada masanya bus CNG di Jakarta jadi bahan pembicaraan karena suara mesinnya yang lebih halus, tapi sering mogok saat SPBG kehabisan pasokan.

Perbandingan Bus CNG dengan Alternatif Lain

Apakah CNG Masih Relevan di Indonesia?

Meski bus listrik kini jadi bintang utama, CNG tetap punya ruang jika dikelola dengan serius. Beberapa alasan:

  • Cadangan gas alam Indonesia masih melimpah.

  • Bisa jadi solusi transisi menuju elektrifikasi penuh.

  • Infrastruktur SPBG bisa dikembangkan bersamaan dengan LNG (Liquefied Natural Gas).

Namun, tanpa dukungan kuat pemerintah dan investasi swasta, CNG hanya akan jadi catatan sejarah percobaan energi ramah lingkungan di transportasi publik Indonesia.

Baca juga : Bus Hiderogen

Kesimpulan

Kisah bus dengan bahan bakar CNG di Indonesia adalah contoh nyata bagaimana teknologi ramah lingkungan tidak bisa berdiri sendiri. Ia butuh ekosistem: regulasi, infrastruktur, operator, dan penerimaan masyarakat. Saat ini, bus CNG mungkin kalah pamor dengan bus listrik, tetapi jejaknya tetap penting sebagai pionir awal transportasi hijau di Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *